Rabu, 04 Maret 2009

Unforgettable Musda !V KAMMI Sulsel dan Lelucon Sejarah

“ Kesembuhan tak akan dimulai sebelum kau jujur”
( Oprah Winfrey)




Musda IV Kamda Sulsel 2005 sudah lama berlalu. Keren. Saking kerennya aku bahkan tak bisa melupakannya. Di sana ada sesuatu yang rumit, namun sederhana sebetulnya Sederhana tapi dibuat rumit. Nah, bingung kan…

Baiklah. Aku ingin flashback sedikit. Bahwa sesungguhnya aku merasa amat “terharu” atas betapa humble-nya para think tank Musda waktu itu yang dengan rela mengabaikan mekanisme untuk sesuatu yang (sebetulnya) tidak penting. Entahlah. Mungkin kami terlihat seperti serombongan bidadari yang siap terluka jika aspirasi kami tidak diakomodir dengan indah.

Yang pasti, ketika sehari sebelum hari “H” yang mengerikan itu, kami sudah berusaha menemui salah seorang elit kamda untuk mencabut aspirasi ‘konyol’ itu, tapi permintaan kami ditolak. Mereka…mereka…mereka... maksa menerima aspirasi kami (yang lugu minta ampun). Sangat wajar ketika kemudian ada satu atau beberapa orang ikhwan yang terlihat tidak bisa menerima, karena melihat kenyataan bahwa Musda telah ternoda.

Yup. Kami melakukannya dengan sempurna. Pun ketika “korban” kami harus duduk di kursi ‘eksekusi’ itu dengan ekspresi paling pasrah yang mungkin dimilikinya, juga saat-saat…(Allah....rasanya pengen menghilang…).

M-A-L-U. Itu emosi paling dominan yang kurasakan saat itu. Bahkan dinding-dinding pun ikut tertawa. Seakan-akan seluruh atap, beserta plafon-plafonnya runtuh menimpa kepalaku, tubuhku, paru-paruku, dan hatiku. Seluruh persendiaanku bagai dilolosi satu persatu. Aliran darah terasa tertarik ke satu titik saja dan mengumpul di wajah, panas! Sungguh, saat itu aku ingin sekali pingsan tapi gak pingsan-pingsan, hiks.

Tapi ya sudahlah. Tak ada yang perlu ditangisi, selain kenyataan bahwa hal itu adalah sebuah kecelakaan, eh bukan, lelocon sejarah yang (semoga) menjadi pelajaran penting untuk semua. Demi kemaslahatan bersama. Sebab segala sesuatu yang wajar dan apa adanya itu jauh lebih menarik ketimbang sesuatu yang sifatnya “seolah-olah”. Seolah-olah baik tapi (afwan) tidak membangun sama sekali.


Sejatinya, kami dibiarkan mengerti tentang apa itu mekanisme (jika memang dianggap kami belum mengerti).
Biarkan kami memahami bahwa ‘proses’ itu sudah lama berlangsung dan tak perlu penambahan aksesoris lagi.
Biarkan kami meyakini bahwa “keajaiban di balik layar” jauh lebih penting di atas seluruh hiruk-pikuk apapun yang terjadi di permukaan.
Biarkan kami ber-Musda tanpa hiburan yang menyiksa itu.
Biarkan....
Please…biarkan kami memahami itu.



Palopo, komsat kota kecilku, medio April 2006

Jumat, 27 Februari 2009

Gerakan Membubarkan Halaqoh (GMH)


Sebuah joke menarik yang cukup populer di tengah gegap gempita dakwah generasi terbuka (termasuk saya), adalah tentang prestasi dalam membubarka halaqoh. “ Jangan takut membubarkan halaqoh!” demikian kira-kira bunyinya. Bahwa halaqoh yang bubar bukanlah sesuatu yang patut untuk ditangisi, karena ia lebih layak mendapat senyuman.

Joke ini mengandung pesan terselubung bahwa kegagalan dalam membina sebuah halaqoh adalah hal yang wajar, bahkan (nyaris) niscaya. Jadi, tidak perlu merasa jera jika mengadakan pembubaran halaqoh untuk yang pertama atau kedua. Kita hanya perlu terus membina. Karena masih akan ada lagi acara pembubaran halaqoh untuk yang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya.

Tak bisa dipungkiri bahwa, tidak semua orang (baca: ikhwah) mau dan (merasa) mampu menjadi seorang murobbi/ah, apalagi berpengalaman membubaran dan (mencoba dari nol lagi) membina halaqoh sampai berkali-kali. Dibutuhkan keberanian, ketangguhan, dan tentu saja: keihklasan. Jika tidak kuat, ia bisa langsung kapok pada pengalaman pertama. Trauma. Tak sudi membina siapa-siapa lagi (sulit dibayangkan memang, jika semua murobbi/ah, di era terutup hingga terbuka, beramai-ramai kapok jika telah sekali membubarkan halaqoh). Fakta bahwa kuantitas sumber daya murobbi/ah yang masih belum memadai, bolehlah diterima sebagai (salah satu) faktor pemicu kecemasan dan keresahan. Namun ekspresi kecemasan itu-jka boleh menyebutnya demikian-masih meiliki celah yang lain untuk tidak mesti menjelma menjadi sesuatu yang ironis. Sisi lain euforia keterbukaan (yang kelamaan) ?

Khawatirnya, joke yang (diharapkan) motivatif ini, menjadi bumerang bagi sektor pembinaan. Ia adalah pedang bermata dua: di satu sisi bisa mendongkrak semangat juang, namun di sisi lain ia potensial mengguratkan semacam ’kebolehan’ untuk memandang halaqoh hanya sebagai ’ajang coba-coba’ yang sungguh nothing to loose. Pada titik tertentu, sebuah halaqoh kemudian seakan-akan boleh saja dikelola ”asala-asalan”(?) karena –sadar atau tidak- sudah terprogram untuk ”bubar jalan”.

OK. Saya percaya, sugesti kegagalan tidaklah semengerikan itu di atas mlitansi dan kesungguhan kita. Namun akan menjadi riskan, jka langkah-langkah pembinaan mesti terus dibayang-bayangi oleh momok ”pembubaran halaqoh”, even ia hanya dimaksudkan sebagai suplemen energi ataupun semangat.

Iya sih, tak ada yang salah dengan halaqoh yang bubar, selain kenyataan bahwa para mad’u itu tidak betah berlama-lama stay tuned dengan kita. Wallahu a’lam bishshowab.

<


Masih di Palopo, 2007